Rabu, 13 Maret 2013

MAKALAH WAWASAN WILAYAH KEPULAUAN






KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur patut di panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga tugas makalah ini bisa terselesaikan. Tiada daya dan upaya yang bisa dilakukan oleh seorang manusia untuk melakukan sesuatu kecuali atas ijin-Nya.
             Adapun dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosen mata kuliah wawasan wilayah kepulauan. Dan tema yang diangkat adalah Wilayah daerah pesisir pantai , sebagai objek pembelajaran untuk kita semua yang masih kurang informasi tentang potensi  yang dimiliki oleh wilayah pesisir pantai. 
            Selebihnya, penulis minta saran dan kritik yang membangun mengenai makalah ini, semoga kedepannya dalam penyusunan makalah-makalah seperti ini bisa lebih baik dari sebelumnya.   Terima kasih ..!!!











Penulis 




DAFTAR ISI
Kata Pengantar                                                                                                                     i
Daftar Isi                                                                                                                                ii
BAB I  PENDAHULUAN                                                                                                  
1.1  Latar Belakang                                                                                                              1
1.2  Rumusan Masalah                                                                                                       2
1.3  Tujuan                                                                                                                              2
BAB II  PEMBAHASAN
2.1 Landasan teori                                                                                                               3
2.2  Potensi Wilayah Pesisir Pantai                                                                              4
2.3 Permasalahan pembangunan pesisir pan                                                          8
2.4 Pengelolaan Pesisir Pantai                                                                                       11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan                                                                                                                     15
3.2 Saran                                                                                                                                  15
Daftar Pustaka                                                                                                                      16






BAB I

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir
merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder, 1999). Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia..
             Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik  pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir .
            Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga adalah warga negara Indonesia. Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau.
            Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir.. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk  pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu - perlu waktu bertahun- tahun  agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan). 


1.2 Rumusan Masalah
a. Potensi wilayah pesisir pantai
b. Permasalahan pembangunan di wilayah pesisir pantai
c. Pengelolaan wilayah pesisir pantai

1.3 Tujuan
.a. Mengetahui potensi-potensi yang dimiliki wilyah  pesisir pantai
b. Mengetahui permasalahan yang di hadapai dalam pengelolaan wilyah pesisir pantai
c. Mengetahui cara pengelolaan wilayah pesisir pantai



BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Ruang Lingkup
            Wilayah pesisir yang merupakan salah satu sumber daya yang potensial di Indonesia.
Wilayah pesisir memiliki pengertian suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar, hal ini didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri, 2001:1). Potensi pengembangan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok yaitu: sumber daya dapat pulih (renewable resources), sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri, 2001:81). Keadaan pantai di Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal, bervegetasi-berlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan berbagai peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri perhotelan, turisme, dan lain-lain. Tetapi, potensi laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan dikelola secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan lebih mengutamakan pembangunan daratan, menjadikan laut sebagai kolam sampah.
            Perkembangan kebijakan pembangunan telah mengarah pada suatu upaya dan mewujudkan pemberdayaan daerah berupa penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah yang lebih dikenal dengan otonomi daerah. Pengaturan pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang pemerintah kabupaten dan kota diatur dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999, yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Hal ini menandai perubahan kepemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan pengembangan dan pengelolaan daerah pesisir yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengembangan dan pengelolaan daerah pesisir yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja dalam mengelola
pesisir dan lautnya (Dahuri, 2001).


2.2  Potensi Pesisir Pantai
            Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Potensi yang dihasilkan dari daerah ini pada tahun 1987 adalah Rp 36,6 trilyun, atau sekitar 22% dari total produk domestik bruto (Dahuri et al 2001).

1. Sumber Daya Dapat Pulih
 Sumber Daya Dapat Pulih meliputi :
a. Hutan Mangrove
            Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain.
            Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar  masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal, adalah kawasan wisata alam (ecotourism). Padahal negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri et al 2001) Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan negara lain.
            Hutan-hutan ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan sungai Musi. Keanekaragaman juga tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987 dalam Dahuri 2001).

b. Terumbu Karang
             Terumbu karang Indonesia memiliki kurang lebih 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis hasil perikanan, batu karang untuk konstruksi. Dari segi estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah. Upaya pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali (Dahuri et al 2001) dimana masyarakat melakukan pengambilan karang secara intesif harus dicegah dengan mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan suvenir, makanan kecil, dan penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; perahu katamaran (perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa scuba diving. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain. Contoh ini kemungkinan dapat dikembangkan di tempat lain sebagai suatu model ekoturism.

c. Rumput Laut
            Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin (Nontji, 1987).
            Melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini telah diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema spp telah di coba di Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk Lampung (Dahuri et al 2001). Usaha budidaya rumput laut telah banyak dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor yang menentukan dalam menggairahkan masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Peranan pemerintah regulasi dalam penentuan daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu produksi serta jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir rumput laut sangat menentuka kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.

d. Sumber Daya Perikanan Laut
            Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.
            Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.
            Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.

2. Sumber Daya yang Tidak Dapat Pulih
            Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang termasuk kedalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijh besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, dan lain-lain. Sumber daya geologi lainnya adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan  batu pondasi.
3. Jasa-jasa Lingkungan
            Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.
  

2.3 Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
            Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.
a. Pencemaran
            Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
            Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.

b. Kerusakan Fisik Habitat
            Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya .
            Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik.
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi belebihan sumber daya perikanan karang.
             Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang dapat mengrusak ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).

c. Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
            Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.


d. Abrasi Pantai
            Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen (2001, 2000) hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota perairan.

e. Konservasi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya
            Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri, property, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan persegeran tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di wilayah pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan parawisata. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. Jika ekosistem mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi garam.

f. Bencana Alam
             Bencana alam merupakan kejadian alami yang berdampak negatif pada sumber daya pesisir dan lautan diluar kontrol manusia. Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan merusak lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut, gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet.




2.4 Pengelolaan wilayah Pesisir Pantai
            Pengelolaan wilayah pesisir meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir  , serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
a. Perencanaan
            Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan  pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut.
            Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.
1.  Rencana Strategis Wilayah Pesisir (RSWP)
            RSWP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah. Jangka waktu RSWP Pemerintah Daerah yaitu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

2.  Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP)
             RZWP merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. RZWP diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Perencanaan RZWP dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial
budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
b. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
             Jangka waktu berlakunya RZWP sma seperti halnya RSPW yaitu selama 20 (dua puluh) tahun kemudian dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir (RPWP)
 RPWP  berisi:
a. kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang
b. skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir
c. jaminan terakomodasikannya pertimbangan- pertimbangan hasil konsultasi publik dalampenetapan tujuan pengelolaan Kawasan sertarevisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan;
d. mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan  nformasi yang akurat dan dapat diakses serta
e. ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.
            RPWP  berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang- kurangnya 1 (satu) kali.

 d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir
            RAPWP dilakukan dengan mengarahkan rencana pengelolaan dan rencana zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. RAPW berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun.

b. Pengelolaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:
1. Hak Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau- pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.
2. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.
3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan,kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.
4. Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan memperhatikanketerkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

            Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.       Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.

c. Pengawasan dan Pengendalian
Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:
1.  mendorong untuk mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;
2. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;
3. memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.
4. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang lain.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.

           
3.2 Saran
            Pesisir pantai memiliki potensi-potensi yang bisa di manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan negara. Untuk itu dalam pemanfaatan wilayah pesisir perlu ada kesadaran kita semua untuk memanfaatkan tanpa eksploitasi berlebihan demi kesejahteraan kita sendri.

  

DAFTAR PUSTAKA
Kay, R. and Alder, J. (1999) Coastal Management and Planning, E & FN SPON, New
York
Jakarta.http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/kel1_012.htm,
Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Kontek Pengembangan Kota Pantai dan kawasan pantai berkelanjutan
Dahuri R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu., PT. Pradnya Paramita, Jakarta.