KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur patut di panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga tugas makalah ini bisa terselesaikan. Tiada daya dan upaya
yang bisa dilakukan oleh seorang manusia untuk melakukan sesuatu kecuali atas
ijin-Nya.
Adapun dibuatnya makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosen mata kuliah wawasan wilayah
kepulauan. Dan tema yang diangkat adalah Wilayah daerah pesisir pantai ,
sebagai objek pembelajaran untuk kita semua yang masih kurang informasi tentang
potensi yang dimiliki oleh wilayah
pesisir pantai.
Selebihnya, penulis minta saran dan
kritik yang membangun mengenai makalah ini, semoga kedepannya dalam penyusunan
makalah-makalah seperti ini bisa lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih ..!!!
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar i
Daftar
Isi ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Landasan teori 3
2.2 Potensi Wilayah Pesisir Pantai 4
2.3
Permasalahan pembangunan pesisir pan 8
2.4
Pengelolaan Pesisir Pantai 11
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan 15
3.2
Saran
15
Daftar
Pustaka 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pesisir adalah wilayah yang unik,
karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir
merupakan
tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder, 1999). Lebih jauh,
wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut
pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di
wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif
serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia..
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan
peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah
pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah
masalah pengelolaan yang timbul karena konflik
pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah
pesisir .
Di masa lalu, paradigma pembangunan
lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan
masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut
dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir
karena mereka juga adalah warga negara Indonesia. Konsekuensinya, justru
masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan
mereka akibat paradigma masa lampau.
Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat
pesisir.. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi
ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang atau
uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama
beberapa waktu - perlu waktu bertahun- tahun
agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
1.2 Rumusan Masalah
a.
Potensi wilayah pesisir pantai
b.
Permasalahan pembangunan di wilayah pesisir pantai
c.
Pengelolaan wilayah pesisir pantai
1.3 Tujuan
.a.
Mengetahui potensi-potensi yang dimiliki wilyah pesisir pantai
b.
Mengetahui permasalahan yang di hadapai dalam pengelolaan wilyah pesisir pantai
c.
Mengetahui cara pengelolaan wilayah pesisir pantai
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ruang Lingkup
Wilayah pesisir yang merupakan salah satu sumber
daya yang potensial di Indonesia.
Wilayah pesisir memiliki pengertian suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar, hal ini
didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri, 2001:1).
Potensi pengembangan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis
besar terdiri dari tiga kelompok yaitu: sumber daya dapat pulih (renewable resources),
sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) (Dahuri, 2001:81). Keadaan pantai di Indonesia sangat
bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal,
bervegetasi-berlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan
berbagai peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri
perhotelan, turisme, dan lain-lain. Tetapi, potensi laut tersebut belum
sepenuhnya dipahami dan dikelola secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang
sektoral dan lebih mengutamakan pembangunan daratan, menjadikan laut sebagai
kolam sampah.
Perkembangan
kebijakan pembangunan telah mengarah pada suatu upaya dan mewujudkan
pemberdayaan daerah berupa penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah yang
lebih dikenal dengan otonomi daerah. Pengaturan pembagian tugas, tanggung jawab
dan wewenang pemerintah kabupaten dan kota diatur dalam Undang-Undang No.22
tahun 1999, yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah. Hal ini menandai perubahan kepemerintahan dari
sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang
luas kepada daerah. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan pengembangan dan
pengelolaan daerah pesisir yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat
kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengembangan dan
pengelolaan daerah pesisir yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini
dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, sehingga
diharapkan dapat memperbaiki kinerja dalam mengelola
pesisir
dan lautnya (Dahuri, 2001).
2.2
Potensi Pesisir Pantai
Potensi pembangunan yang terdapat di
wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok : (1) sumber daya
dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih
(non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental
services). Potensi yang dihasilkan dari daerah ini pada tahun 1987 adalah Rp
36,6 trilyun, atau sekitar 22% dari total produk domestik bruto (Dahuri et al
2001).
1. Sumber Daya Dapat Pulih
Sumber Daya Dapat Pulih meliputi :
a. Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem
utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai
fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan
dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan,
dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya,
hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu,
daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain.
Segenap kegunaan ini telah
dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain
dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal, adalah kawasan
wisata alam (ecotourism). Padahal negara lain, seperti Malaysia dan Australia,
kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan
menguntungkan (Dahuri et al 2001) Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas
dibandingkan dengan negara lain.
Hutan-hutan ini dapat menempati
bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang
dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan sungai Musi. Keanekaragaman juga
tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies
tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik
(Nontji, 1987 dalam Dahuri 2001).
b. Terumbu Karang
Terumbu karang Indonesia memiliki kurang lebih
50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah
pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang mempunyai fungsi
ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat
pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang juga
menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti
berbagai jenis hasil perikanan, batu karang untuk konstruksi. Dari segi
estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah. Upaya
pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan masyarakat sangat
dibutuhkan. Pada kasus di Bali (Dahuri et al 2001) dimana masyarakat melakukan
pengambilan karang secara intesif harus dicegah dengan mencarikan alternatif
berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan
masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken
Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti
pelayanan pada penjualan suvenir, makanan kecil, dan penyediaan fasilitas untuk
menikmati keindahan terumbu karang; perahu katamaran (perahu yang mempunyai
kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung kedalam air
melalui kaca tersebut) atau jasa scuba diving. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan
fasilitas hotel, restauran dan lain-lain. Contoh ini kemungkinan dapat
dikembangkan di tempat lain sebagai suatu model ekoturism.
c. Rumput Laut
Potensi rumput laut (alga) di
perairan Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi
sebesar 482.400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama pada
senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin
(Nontji, 1987).
Melihat besarnya potensi pemanfaatan
alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini telah diupayakan untuk
dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema spp telah di coba di Kepulauan Seribu
(Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan
Teluk Lampung (Dahuri et al 2001). Usaha budidaya rumput laut telah banyak
dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi
pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor yang menentukan dalam
menggairahkan masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut.
Peranan pemerintah regulasi dalam penentuan daerah budidaya, bantuan dari
badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu produksi serta jaminan harga yang
baik dari pembeli/eksportir rumput laut sangat menentuka kesinambungan usaha
budidaya komoditi ini.
d. Sumber Daya Perikanan Laut
Potensi
sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan
pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun),
sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun),
ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian
secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun
dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada
tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal
ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0%
(Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Sedangkan potensi lahan pertambakan
diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%)
bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk
peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam
meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi
semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.
Pada usaha penangkapan ikan, perlu
adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi
baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh
negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih
maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha
dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan
adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan
yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan
racun.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.
2. Sumber Daya yang Tidak Dapat Pulih
Sumber daya yang tidak dapat pulih
terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang termasuk kedalamnya antara lain
minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijh besi, batu bara, granit, tanah
liat, pasir, dan lain-lain. Sumber daya geologi lainnya adalah bahan baku
industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan,
kerikil dan batu pondasi.
3. Jasa-jasa Lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud
meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata,
media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan
penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan
lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.
2.3 Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi
dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah
pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi
pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan
bencana alam.
a.
Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku
mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri
merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut.
Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik
padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit
dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia
(berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah
besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut,
terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan
Fisik Habitat
Kerusakan fisik habitat wilayah
pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini
terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang
lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas
manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman,
pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan
hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau
sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di
Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan
(9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun
1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk
penggunaan lahan lainnya .
Ekosistem lainnya yang mengalami
kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari
berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang
yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5
% sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri
dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem
terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah
mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat
baik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi belebihan sumber daya perikanan karang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi belebihan sumber daya perikanan karang.
Ekosistem padang lamun secara khusus rentan
terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa
aktivitas manusia yang dapat mengrusak ekosistem padang lamun adalah (1)
pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan,
industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam
berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh
limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).
c.
Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
Ada beberapa sumber daya perikanan
yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan
demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di
daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara
Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya
tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang
baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga
perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya
apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya
perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.
d. Abrasi
Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan
terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang
pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya
kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak
mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian
sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir.
Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di
garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka
pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen (2001, 2000) hutan magrove tersebut
secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin
badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang
diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi
udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan
perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground
bermacam biota perairan.
e.
Konservasi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya
Dewasa ini banyak sekali terjadi
pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri,
property, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan persegeran
tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan
keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di wilayah
pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung
sekalipun menjadi lahan pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan
parawisata. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama
ekosistem mangrove. Jika ekosistem mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal
yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2)
terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan
mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi
garam.
f. Bencana
Alam
Bencana alam merupakan kejadian alami yang
berdampak negatif pada sumber daya pesisir dan lautan diluar kontrol manusia.
Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan merusak
lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut, gelombang pasang
tsunami, dan radiasi ultra violet.
2.4 Pengelolaan wilayah Pesisir Pantai
Pengelolaan wilayah pesisir meliputi
proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir , serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
a. Perencanaan
Perencanaan dilakukan melalui
pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated
Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun
oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan
pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu
merupakan pendekatan yang memberikan
arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara
berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari
berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan
pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut.
Perencanaan terpadu itu merupakan
suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi
secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai
dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan
mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii)
rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.
1. Rencana
Strategis Wilayah Pesisir (RSWP)
RSWP merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah.
Jangka waktu RSWP Pemerintah Daerah yaitu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
2. Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP)
RZWP merupakan arahan pemanfaatan sumber daya
di Wilayah Pesisir pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. RZWP
diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Perencanaan RZWP
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a.
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi
pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi
dan sosial
budaya,
serta fungsi pertahanan dan keamanan;
b.
keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika
lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
c.
kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan
Wilayah Pesisir yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
Jangka waktu berlakunya RZWP sma seperti
halnya RSPW yaitu selama 20 (dua puluh) tahun kemudian dapat ditinjau kembali
setiap 5 (lima) tahun.
c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir (RPWP)
RPWP
berisi:
a.
kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya
yang diizinkan dan yang dilarang
b.
skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah
Pesisir
c.
jaminan terakomodasikannya pertimbangan- pertimbangan hasil konsultasi publik
dalampenetapan tujuan pengelolaan Kawasan sertarevisi terhadap penetapan tujuan
dan perizinan;
d.
mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data
dan nformasi yang akurat dan dapat
diakses serta
e.
ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan
kebijakan dan prosedurnya.
RPWP
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali.
d. Rencana
Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir
RAPWP dilakukan dengan mengarahkan
rencana pengelolaan dan rencana zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana
strategis. RAPW berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun.
b. Pengelolaan
Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan
sebagai berikut:
1.
Hak Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau- pulau kecil
dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan kewenangan masing-masing instansi terkait.
2.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau
zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.
3.
Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari
perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan
pemberdayaan masyarakat, kewenangan,kelembagaan, sampai pencegahan dan
penyelesaian konflik.
4.
Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster
dengan memperhatikanketerkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial
budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi
penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan
kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan
berimplikasi meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan
bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan
norma-norma pemberdayaan masyarakat. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh
sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan
tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan
ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan
Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.
c. Pengawasan dan Pengendalian
Pengawasan
dan pengendalian dilakukan untuk:
1. mendorong untuk mengetahui adanya
penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana
pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas
ekosistem pesisir;
2. mendorong
agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai
dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;
3.
memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti
pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda
atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.
4.
Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini
merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan
yang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam pelaksanaan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk memberdayakan
sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar
untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di
era otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat
harus dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung
jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana
dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan
sumberdaya. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan
yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya dan
tidak merugikan kepentingan publik.
3.2 Saran
Pesisir
pantai memiliki potensi-potensi yang bisa di manfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat dan negara. Untuk itu dalam pemanfaatan wilayah pesisir perlu ada
kesadaran kita semua untuk memanfaatkan tanpa eksploitasi berlebihan demi
kesejahteraan kita sendri.
DAFTAR PUSTAKA
Kay, R. and
Alder, J. (1999) Coastal Management and Planning, E & FN SPON, New
York
Jakarta.http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/kel1_012.htm,
Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dalam Kontek Pengembangan Kota Pantai dan kawasan pantai berkelanjutan
Dahuri R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan
Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu., PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.